Thursday, July 06, 2006

Wednesday, July 05, 2006

EFECTIVE INVENTORY


Efective Inventory
Written by Bagus

Berdasarkan pengalaman, inventory variance antara system dgn fisik biasanya disebabkan oleh 2 hal, yaitu: proses registrasi transaksi ke dalam system yg tertinggal jauh dibanding proses transaksi fisiknya; atau lemahnya mekanisme kontrol atas proses registrasi transaksi ke dalam system, sehingga menyebabkan mis-record transaksi, baik transaksi yg tidak ter-record maupun salah record quantity-nya dlsb). Kedua point ini bisa saja saling berhubungan, dimana point yg satu menjadi penyebab dari timbulnya point yg lain.


Solusinya bisa dgn teknologi; mulai dari yg ekstrim, misalnya dgn RFID (radio freq identifctn), sehingga setiap transaksi secara otomatis akan langsung ter-record ke dalam system. Dgn RFID ini, tentu sangat kecil kemungkinan terjadinya mis-record transaksi; atau dgn barcode scanning, sehingga dgn sekali scan & enter, akan ter-record satu transaksi ke dalam system tanpa perlu mengklik/mengetik apa-apa lagi; atau dgn timbangan yg langsung connected ke system; atau dgn cara-cara kreatif lainnya yg disesuaikan dgn kondisi, termasuk pertimbangan keterbatasan kemampuan investasi perusahaan. Apapun, ide dasarnya adalah memaksimalkan pekerjaan added value yg ada, yg dalam konteks ini berupa penggunaan teknologi (fasilitas komputer/software) dan meminimalkan pekerjaan non added value alias beban kerja ekstra (yg biasanya manual), yg bisa di-cover oleh performa software tsb; misalnya pengerjaan sejumlah dokumen manual (on paper; yg berbentuk form-2 isian) diganti dgn proses registrasi
transaksi ke dalam system (yg tentunya bisa di-print dalam format yg menyerupai dokumen manual yg dibutuhkan, atau cukup berupa “dokumen digital” saja).

Solusi lain, bisa juga dgn penambahan personil; misalnya tenaga admin yg dikhususkan untuk memproses registrasi transaksi ke dalam system; atau bisa juga solusi yg lebih mengarah ke workload management dgn menyusun suatu mekanisme kontrol standar atas setiap transaksi yg terjadi, dimana personil tertentu (misalnya supervisor gudang atau stock controller atau apapun namanya) secara khusus bertanggung jawab untuk mengontrol semua registrasi transaksi ke dalam system (tentu personil tsb bisa saja tetap memiliki tugas-2 rutin lain). Dan fungsi kontrol registrasi transaksi ini dimasukkan ke dalam point KRA (key result area) & KPI (key performance indicator) dari personil tsb. Ini pun bisa didukung dgn menerapkan kebijakan “daily closing” (kalau bisa), atau “weekly closing”, dst, meskipun stock report normalnya tetap berbasis bulanan (biasanya ke accounting). Selain mekanisme kontrol standar di atas, ada juga mekanisme lain yg bisa dipakai; misalnya cycle counting, stock taking atau stock
opname. Jika ditemukan variance yg tak terlacak transaksinya, maka transaksi adjustment tentu biasa dipakai untuk mem-balance-kan inventory. Tapi bila adjustment-nya tidak reasonable, maka proses operasional/administrasi kitalah sesungguhnya yg masih lemah & memang perlu segera diperbaiki.

Silahkan buat studi, solusi mana yg kiranya cukup efektif bagi tim anda dalam mengerjakannya & cukup efisien bagi manajemen untuk urusan investasinya J

Mengenai 60% fast moving item yg anda miliki, saya agak sulit membayangkannya. Ada 2000 item, dimana 1200 di antaranya adalah fast moving? Apa betul demikian? Apa criteria fast moving-nya? Anda jelas tidak bisa menerapkan metode pareto/ABC standar; dimana (nilai) transaksi dari sejumlah kecil item (bisa dalam persentase; katakanlah +/- 20%) ternyata mendominasi +/- 80% dari (nilai) total transaksi anda. Note: filosofinya, metode pareto kan memang untuk memudahkan kita dgn cara menetapkan fokus. Jika benar demikian adanya, maka status 60% fast moving ini memang akan menyulitkan anda dalam menjaga akurasi stock anda; mengingat anda harus memberikan konsentrasi ekstra pada 60% item, dibanding 20% item yg biasa dipakai dalam metode pareto standar..

Mengenai stock take yg efektif di L-5, saran saya: “try not to do it”, apa lagi jika anda tidak didukung equipment yg memadai J Kenapa? Katakanlah fast moving item anda memang 60%. Jika racking yg anda punya sampai L-5, maka sebisa mungkin aturlah penyimpanan ke60% item tsb di level 4 ke bawah, yg bisa dijangkau oleh equipment anda. Jadi, L-5 cuma buat slow/non moving item; buat apa di stock take (yg frekuensinya cukup sering; katakanlah sebulan sekali)? Cukup setahun sekali/dua kali saja, yaitu saat stock opname. Jika tak bisa dihindari, dan kita tetap harus memakai L-5 untuk menyimpan fast moving item, usahakan simpan seminimal mungkin fast moving item di L-5, sehingga anda tidak perlu terlalu banyak menanganinya saat stock take. Jika demikian, usulkan terus penyediaan equipment yg memadai.

Maaf jika penjelasannya terlalu panjang. Mohon masukan juga dari rekans yg lain.

Regards, Bagus

Sumber :
http://www.ipoms.or.id/mambo/index.php?option=com_content&task=
view&id=521&Itemid=2

JUST IN TIME SYSTEM

Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu
(Just In Time System)
Written by Mohammad Syarwani


Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini antara lain

Mengenal Sistem Produksi Tepat Waktu (Just In Time System)

I. Sistem Produksi Barat

Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini antara lain

-melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,

-melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan kebutuhan bahan, penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.

-terdapatnya departemen pengendalian kualitas,

-terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai penyimpan persediaan, dll.

Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki resourcess yang cukup banyak.

Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.

Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.


II. Sistem Produksi Jepang

Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT) adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk kemubadziran antara lain adalah

Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time), mesin yang menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.

Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps, chips) akibat proses produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.

Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadi mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll. Jepang melakukan eliminate of waste karena jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.

Untuk dapat melaksanakan eliminate waste Jepang melakukan strategi sebagai berikut :

- Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan

- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan

- Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.

Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu
Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.

Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zerro Inventory dapat dilaksanakan.

Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.
Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas). Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.

Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan. Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3 cara, yaitu :

a. Otonomi (kewenangan).

Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.

b. Flexibility

Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen.

Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.

c. Creativity

Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.

Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.


Sumber :
http://www.ipoms.or.id/mambo/index.php?option=com_content&task=
view&id=530&Itemid=2